Tepat di hari ulang tahun ratu Thailand yang ke 79, Jumat 12 Agustus 2011 (12 Ramadhan 1432H), untuk pertama kalinya saya naik ke kapal legendaris berusia 59 tahun milik TNI AL, KRI Dewaruci. Dewaruci saat ini bersandar tenang di pelabuhan kargo Klong Toey, Bangkok, sejak tanggal 10 Agustus lalu dan angkat sauh hari Sabtu, 13 Agustus (hari ini), pukul 09.00, kembali ke Indonesia setelah singgah di tiga negara: Filipina, Cina, dan Thailand.

Jumat pagi itu cuaca cerah (cuaca Bangkok saat ini bisa berubah cepat dari cerah menjadi berawan dan hujan), dan rombongan kami – yang terdiri dari saya, Pak Dicky Kresnadi (engineer di Worley Parson), Pak Wahyu (dokter ortopedi di RSCM yang sedang training di Chiangmai dan Bangkok), Pak Ayif dan istri (guru Sekolah Indonesia Bangkok) – disambut ramah oleh taruna Angkatan Laut dan awak kapal Dewaruci. “Saya kira tadinya Dewaruci itu kapal pinisi yang terbuat dari kayu,” komentar Pak Wahyu yang menemukan bahwa lambung Dewaruci ternyata terbuat dari baja.

Pak Dicky, Pak Wahyu, Pak Ayif dan istri bersama para taruna muda AL

Pak Dicky, Pak Wahyu, Pak Ayif dan istri bersama para taruna muda AL

Meski saya tadinya juga mengira begitu, tapi kapal ini tetap mengesankan. Dewaruci adalah kapal layar yang juga bermesin tipe Barquentine. Panjang kapal 58 meter dan lebarnya 9,5 meter. Seluruh lantai dek kapal dilapisi panel kayu. Terdapat tiga tiang layar bernama Bima (depan), Arjuna (tengah) dan Yudhistira (belakang). Lantai kayu dan tiang layar ini memberi kesan seolah-olah kami berada di kapal jaman Jack Sparrow gemar berduel pedang dengan bajak laut musuhnya di perairan Karibia. Melihat Pak Dicky berdiri di tepi Dewaruci menatap sungai Chao Phraya, saya juga teringat kapten Haddock di serial Petualangan Tintin.

Di atas kapal saya berbincang dengan dua orang taruna (kadet) Akademi Angkatan Laut yang berseragam lengkap. “Kapal ini buatan Jerman dan selesai dibangun pada tahun 1952,” buka Alan Iqbal, kadet berusia 20 tahun dari Kudus. Taruna- taruna yang ikut dalam ekspedisi ini berusia muda, antara 20-21 tahun. Mereka masuk akademi pada usia 18-19 tahun dan pada saatnya semua kadet tersebut akan berlatih berlayar dengan Dewaruci beberapa bulan ke berbagai negara.

“Kami adalah taruna angkatan 58 dan tahun ini angkatan 58 ini yang berlatih berlayar dengan Dewaruci. Total ada 83 taruna di kapal ini, ditambah 84 awak kapal, jadi total ada 167 orang dalam ekspedisi tahun ini,” ujar Panji Dewanto, seorang kadet dari Kulon Progo, Yogyakarta. Seratus enam puluh tujuh orang, dalam kapal ‘sekecil’ ini?? Mengagumkan! “Kami tidur di tempat tidur bertingkat tiga. Ruang kabin dibuat seefisien mungkin,” tambahnya. Belakangan saya tahu bahwa kapasitas Dewaruci normalnya adalah: 81 orang awak kapal (ABK) dan 75 kadet; total 156 orang. Jadi tahun ini Dewaruci kelebihan 11 orang.

Sejarah dan Tugas KRI Dewaruci

Mari kita tilik sedikit sejarah Dewaruci. Kapal ini adalah satu dari tiga kapal sejenis yang dibangun di shipyard Jerman Barat bernama H.C. Stulchen & Sohn Hamburg. Pembangunan dimulai tahun 1932, tapi karena perang dunia II yang brutal merembet ke galangan itu dan merusaknya (kita pasti ingat bahwa Jerman adalah salah satu aktor utama perang tersebut), proses pembangunan sempat terhenti. Pembangunan akhirnya selesai pada 1952 dan diserahkan pada Angkatan Laut Repubik Indonesia pada Juli 1953.

Uniknya, saat Dewaruci masih kuat dan bersemangat berpetulang keliling dunia pada usinya yang ke 59 tahun ini, dua saudara kandungnya yang waktu itu dipesan negara lain telah wafat. Tidak ada informasi negara mana yang memesan. Tapi ada kabar bahwa satu saudara Dewaruci telah masuk museum, dan satu yang lain telah ditenggelamkan karena sudah tidak layak laut (not seaworthy).

Sejak awal kelahirannya, Dewaruci memang dirancang sebagai kapal latih taruna Akademi Angakatan Laut. Bagaimana model latihannya? Telah diatur bahwa tiap tahun Dewaruci berlayar ke berbagai negara. Delapan puluhan awak kapal berpengalaman – yang juga anggota kesatuan Angkatan Laut – mengurus, mengawal, dan mengendalikan kapal ini dalam pelayaran tahunan itu. Beberapa awak kapal telah bertugas di Dewaruci selama 20 tahun. Nah, dalam tiap pelayaran tahunan itu, sekitar 70-80 kadet muda akan ikut serta untuk berlatih berlayar dan menerapkan apa yang telah mereka pelajari di akademi. Para taruna tersebut adalah spesialis – tergantung dari jurusan yang mereka ambil – di bidang pelaut, teknik, elektronika, atau suplai.

Lambang bintang di saku kiri bawah menunjukkan bahwa sang taruna adalah spesialis 'Pelaut'

Lambang bintang di saku kiri bawah menunjukkan bahwa sang taruna adalah spesialis 'Pelaut'

Misi latihan bagi taruna muda adalah satu hal. Misi lain Dewaruci dan seluruh awak dan taruna yang ikut dalam sebuah ekspedisi adalah mempromosikan budaya Indonesia dan menjalin persahabatan internasional dengan negara-negara lain. Jadi, saat Dewaruci bersandar di sebuah negara, para awaknya akan memainkan tarian tradisional Indonesia, memainkan GS (genderang suling) yang memusikkan salah satu lagu Indonesia, dan mengundang rekan-rekan asing mereka naik ke Dewaruci untuk melihat anjungan kapal dan tiang layar Bima-Arjuna-Yudhistira yang dihiasi ukiran kayu Papua, Toraja, dan Jepara.

(Foto-foto Dewaruci lain bisa dilihat di sini)

Suka Duka

“Mau saya antar melihat-lihat kabin?” tawar Pak Masruhan, seorang awak Dewaruci ramah berasal dari Gresik. Tentu saja itu yang kami harapkan. Kami turun ke bawah melalui pintu masuk di bagian anjungan (bagian belakang kapal). Ruang pertama yang kami masuki adalah ruang tamu. Ruang itu berdinding kayu berpelitur coklat yang dipenuhi cendera mata dari delegasi negara-negara yang pernah dikunjungi, berisi dua set sofa coklat tua, dan berhiaskan dua miniatur Dewaruci yang diletakkan di meja yang menempel ke dinding. Ruang ini – seperti juga ruang-ruang lain yang nantinya kami kunjungi – sejuk oleh mesin pendingin udara.

Pak Masruhan memimpin kami menyusuri koridor menuju ruang tengah perut Dewaruci. Saat berbelok ke kanan, ada jejeran mesin cuci pakaian di gang itu. Dua orang awak kapal sedang duduk santai di pintu kabin yang terbuka yang tepat menghadap sungai Chao Phraya. Kami melewati mereka yang ramah menyapa kami. Lantai ini adalah kawasan awak kapal (juga biasa disebut ABK).

Pak Masruhan mengarahkan telunjuknya ke bawah, memberi kode untuk turun satu lantai lagi. Meski semua terasa sempit, tapi saya masih kagum dengan fakta bahwa masih ada satu lantai lagi di bawah kami. Kapal ini lebih besar dari kelihatannya, saya menyimpulkan. Kami menuruni tangga menuju ke lantai berikutnya yang merupakan kabin para taruna. Di sana saya melihat jejeran tempat tidur tiga-tingkat yang diceritakan kadet Panji tadi. Lebar tempat tidur itu sungguh pas untuk satu orang. Rancangannya sangat efisien. Seorang kadet berkaos dan bercelana pendek yang sedang memegang bungkus sabun cuci pakaian muncul di ujung sana dan melempar senyum pada kami.

Tempat tidur para kadet di lantai paling dasar Dewaruci

Tempat tidur para kadet di lantai paling dasar Dewaruci

Sebelumnya Alan bercerita pada saya, “Beberapa waktu lalu, saat melayari laut Cina Selatan, kami diterpa badai. Dewaruci ini kapal yang relatif ringan dibanding kapal perang modern. Karena ringan, kapal bergoyang cukup keras saat badai itu. Hampir semua awak dan kadet mabuk laut selama badai dua hari itu.” Dia menambahkan bahwa pada saat seperti itu, para taruna yang sedang tidak bertugas berbaring di tempat tidur mereka untuk mengurangi efek mabuk laut itu. Dan, saat saya memfoto ruang tempat tidur mereka saat itu, saya juga membayangkan mereka berbaring dalam rasa mual yang kuat, tak bisa menekuk tubuh karena lebar tempat tidur yang tidak memungkinkan, sementara kapal diguncang ombak tinggi laut Cina Selatan.

Setelah kami muncul di dek kembali, Pak Masruhan bertukar cerita dengan saya tentang bajak laut. Saya bercerita kapal Samudera Indonesia, perusahaan tempat saya bekerja sekarang, yang baru-baru ini dibajak perompak Somalia. “Oh, Sinar Kudus itu, ya?” Tentu saja tiap orang tahu tentang pembajakan Sinar Kudus yang ditahan perompak Somalia selama 46 hari itu, apalagi bagi pelaut seperti Pak Nasruhan.

(Foto-foto Dewaruci lain bisa dilihat di sini)

“Tahun lalu kami juga melalui perairan itu, dan kami juga didekati para perompak itu,” ceritanya. Saat Dewaruci melintas, ada sebuah kapal kecil, semacam kapal nelayan, yang mendekati Dewaruci, kemudian berhenti. Berturut-turut setelah itu, kapal-kapal lain – sekitar 4 buah kapal – juga muncul dan berhenti di dekat kapal pertama. Mereka menjaga jarak dari Dewaruci untuk mengamatinya. Awak Dewaruci waspada. Meski awak kapal dipersenjatai AK-47, bajak laut Somalia tetap harus diantisipasi. Dewaruci yang berlayar hanya dalam kecepatan 9-10 knot adalah sasaran mudah bagi kapal-kapal pembajak bertenaga kuda besar. Beberapa lama kemudian, kapal-kapal Somalia itu mundur dan menjauhi Dewaruci. “Mungkin mereka telah melihat kami yang berseragam militer dan memutuskan bahwa kapal ini bukan sasaran yang cocok buat mereka,” kata Pak Masruhan sambil tertawa.

Beliau juga bercerita tentang persenjataan di Dewaruci. “Meski kapal ini berjuluk kapal perang, tapi tidak ada senjata yang built-in di Dewaruci. Hanya awak kapalnya saja yang dilengkapi senapan serbu bandel buatan Rusia, AK-47.” Kalau kapal ini dilengkapi persenjataan berat, justru sulit mengurus perizinan masuk ke suatu negara. Karena kapal ini adalah kapal latih tak bersenjata dan berlayar untuk tujuan damai, maka banyak negara yang membuka diri dan sangat senang dengan kedatangan Dewaruci.

Pak Masruhan, sang awak Dewaruci yang ramah

Pak Masruhan, sang awak Dewaruci yang ramah

Jadi, sebetulnya berlayar dengan Dewaruci ini lebih banyak senangnya atau dukanya? “Saya seneng banget, Mas, karena bisa keluar negeri dan bertemu dengan kesatuan laut dari negara-negara lain,” sahut Alan, sang taruna muda yang berasal dari Kudus. “Menurut saya, banyak senengnya, Mas, karena selain kita bisa keluar negeri, kita juga bisa praktekkan pelajaran yang kita dapat di akademi,” jawab Panji, sang taruna muda dari Yogyakarta.

Pak Masruhan, sang awak yang telah bertugas di Dewaruci 3 tahun, juga menyatakan banyak suka dan kebanggaan berlayar bersama Dewaruci. “Tahun lalu kami berlayar ke Arab dan Eropa. Di Eropa, orang-orang akan menyambut Dewaruci dengan antusias. Mereka sangat senang bisa naik dan melihat Dewaruci dari dekat. Mereka justru menyukai kapal layar ‘jelek’ macam kapal ini dibanding kapal-kapal perang modern,” cerita Pak Masruhan, tersenyum.

Tahun Lalu, Tahun Ini, Tahun Depan

Seperti yang diceritakan Pak Masruhan, tahun lalu, tepatnya Maret hingga November 2010, Dewaruci berlayar dalam salah satu ekspedisi heroik menyinggahi Arab Saudi, Yunani, Bulgaria, Turki, Belgia, Denmark, Swedia, Norwegia, Inggris, Belanda, Ciprus, India, dan Sri Lanka. Tigabelas negara dalam delapan bulan! Fantastis! Kalau pada saat itu mereka membuka lowongan untuk orang sipil sebagai tukang sikat lantai dek kapal atau tukang cuci piring, saya pasti mendaftar.

Pernah, di pelayaran tahun 2005 yang singgah di Arab juga, seluruh kadet dan ABK muslim mendapat fasilitas ibadah umroh dari negara yang difasilitasi Konjen RI di Jeddah. Sebanyak 57 Kadet AAL, dua perwira pendamping serta 75 ABK menjalani umroh saat Dewaruci bersandar di Jeddah. Salah satu kadet – seperti dikutip dalam artikel yang dimuat di website Departemen Pertahanan – bercerita dalam rasa haru,“Kejadian ini merupakan kejadian luar biasa yang tidak disangka-sangka sebelumnya. Di usia saya yang ke 21 tahun ini saya dapat menjalani ibadah umroh mendahului orang tua saya di kampung.”

Rute Layar Dewaruci 2011

Rute Layar Dewaruci 2011

Tahun ini, durasi pelayaran Kartika Jala Krida (demikianlah tiap pelayaran Dewaruci disebut) 2011 hanya 52 hari: berangkat pada 5 Juli dan kembali ke titik awal pada 26 Agustus 2011. Rute pelayaran: Surabaya – Bitung – Manila – Guangzu – Bangkok – Batam – Surabaya. Pelayaran tahun ini relatif pendek. Kapal akan segera kembali ke pangkalan Angkatan Laut di Surabaya untuk menyiapkan pelayaran berikutnya.

Ekspedisi berikutnya akan dimulai pada Januari tahun depan dan durasi diperkirakan tiga bulan. Tujuannnya? Amerika. Pak Masruhan belum bisa menyebut detil pelabuhan di kota mana saja yang akan disinggahi. Dia mengatakan bahwa tidak ada lowongan kerja di Dewaruci untuk orang sipil tahun depan. Sayang sekali!

Jolly Roger?

Sebelum saya datang dan naik Dewaruci pagi itu bersama rombongan kecil kami, saya telah memantau kedatangan Dewaruci dari kamar sewaan saya sehari sebelumnya. Kamar ini berada di lantai 20 dan balkonnya menghadap ke selatan, tepat ke arah pelabuhan Klongtoey yang berjarak sekitar 2 km dari bangunan tempat saya tinggal. Jadi, dengan binokular Bushnell kecil saya, saya bisa melihat kegiatan dan kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan sungai Chao Phraya dengan jelas.

Kamis pagi, saya menyapu kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan dengan Bushnell dari balkon. Pada sapuan pertama, saya tidak melihat ada kapal pinisi kayu (itulah yang saya kira waktu itu) dengan tiang layar. Saat saya mengulang lagi, baru saya lihat ada tiga tiang yang terlihat tipis dihiasi bendera-bendera kecil yang diikatkan pada tali yang menghubungkan satu tiang dengan tiang lain. Badan kapal sama sekali tak tampak karena tertutup bangunan bertingkat di dekat kade kapal itu bersandar. Itu dia! Itu pasti Dewaruci.

Ada satu yang menarik saat saya mengamati tiang kapal layar dengan teropong saya pagi itu. Di antara bendera-bendera kecil yang meriah itu, ada satu bendera besar berwarna hitam dengan gambar tengkorak di depan tulang lengan yang bersilang berwarna putih. Nah, kenapa ada bendera Jolly Roger – sebutan untuk gambar tengkorak lambang bajak laut – di Dewaruci? Ikon artikel ini adalah bendera Jolly Roger di Dewaruci yang saya foto pada Jumat pagi.

Bendera Bajak Laut di antara Arjuna dan Yudhistira

Bendera Bajak Laut di antara Arjuna dan Yudhistira

Saat kami tiba di Dewaruci keesokan paginya (Jumat), selain bendera merah putih besar di buritan, bendera hitam bergambar tengkorak itu berkibar mencolok dan paling menarik perhatian. Salah satu hal pertama yang saya tanyakan pada Alan, Panji, dan Ray (para kadet yang akhirnya berbincang lama dengan saya), adalah kenapa Dewaruci dipasangi bendera tengkorak itu? Bukankah itu adalah bendara bajak laut dan memiliki stigma negatif?

“Yah, kebanyakan orang mengira begitu, Mas, tapi maksud bendera itu adalah melambangkan keberanian dalam menjalankan tugas,” ujar Alan. Saya baru tahu tentang makna Jolie Rouge dari sudut pandang itu. Saya akan memverikasi pendapat mereka itu nanti.

Belakangan saya mendapat tambahan informasi menarik. Pada PD II, unit-unit kapal selam Inggris dan Australia mengibarkan bendera tengkorak saat masuk pelabuhan sebagai tanda suksesnya sebuah misi serta keberanian dalam bertempur. Satuan Waffen SS divisi 33 (Tottenkopf) juga menggunakan lambang tengkorak ini. Dalam perang teluk, kapal-kapal perang Inggris yang telah menembakkan rudal Tomahawk, yaitu HMS Trafalgar, HMS Triumph, HMS Turbulent kembali ke pangkalan dengan mengibarkan bendera tengkorak.

Jadi falsafah dari bendera tengkorak ini adalah ‘keberanian dalam menghadapi bahaya’, ‘ketabahan sampai akhir’, atau ‘kembali ke pangkalan dengan membawa keberhasilan atau kesuksesan pelaksanaan misi yang berbahaya’. Mungkin dari falsafah ini mengapa bendera tengkorak putih berlatar hitam ini menjadi bagian Dewaruci sejak 1984.

(Foto-foto Dewaruci lain bisa dilihat di sini)

Ada cerita unik tentang bendera ‘bajak laut’ di Dewaruci ini yang bersumber dari Dispenarmatim. Dalam suatu eskpedisi, Dewaruci berlayar dari India menuju Jedah. Sebelum masuk ke Laut Merah, Dewaruci dan kapal-kapal lain harus melalui perairan Somalia yang terkenal akan bajak lautnya. Saat itu, dua kapal perang Rusia, ‘Pechenga’ dan ‘MB 19’, bertolak dari Salalah untuk mendampingi Dewaruci melewati perairan Somalia.

Saat melihat bendera tengkorak berkibar di Dewaruci, awak Rusia protes pada awak Dewaruci. “Bagaimana kami mau mengamankan anda, jika kapal anda sendiri secara tidak langsung mengakui keberadaan mereka?” protes awak Rusia.

Setelah mendapatkan penjelasan tentang asal mula bendera itu dan artinya menggunakan bahasa Rusia oleh Kolonel Achmad Riad, Atase Pertahanan Indonesia, maka mereka mulai mengerti. Ditambah lagi penjelasan dari Komandan KRI Dewaruci, bahwa kapal ini pernah singgah di Vladivostok tahun 2004, sehingga penjelasan itu membuat suana lebih cair dan menjadi lebih akrab.

Sayonara Dewaruci!

Pagi ini, Sabtu 13 Agustus 2011, tepat pukul 09.00, Dewaruci melepas mooring (tali tambat) di dermaga pelabuhan Bangkok. Tim GS (Genderang Suling) memainkan drumband di geladak kapal, sementara para kadet muda memanjati Bima, Arjuna, dan Yudhistira hingga ke pucuk-pucuknya. Setelah para kadet menempati posisinya masing-masing-masing di tiang-tiang layar itu, mereka melambai pada kami yang mereka tinggalkan di dermaga. Ini adalah formasi khas Dewaruci saat melepas sauh meninggalkan sebuah pelabuhan. Bendera Merah Putih yang berukuran superbesar melambai gagah di buritan. Sementara si Jolly Roger, bendera hitam bergambar tengkorak khas bajak laut itu, juga berkibar di tengah di antara Arjuna dan Yudhistira.

Kolonel KAV Daru Cahyono dan sejawat dari Angkatan Laut Thailand saat melepas Dewaruci

Kolonel KAV Daru Cahyono dan sejawat dari Angkatan Laut Thailand saat melepas Dewaruci

Dewaruci dilepas oleh Atase Pertahanan RI di Bangkok Kolonel KAV Daru Cahyono beserta jajarannya, beberapa komandan angkatan laut Thailand, beberapa warga Indonesia, dan tim band dari angkatan laut Thailand. Tim band Thailand ini memainkan ‘Rasa Sayange’ dan ‘Burung Kakaktua’ bernuansa jazz tanpa cela! Mereka juga bermain bersahutan secara harmonik dengan tim drumband GS Dewaruci (mereka memainkan lagu yang sama) saat perlahan Dewaruci dan tim durmband-nya bergerak menjauh.

Tahun depan, Dewaruci masih akan berpetualang lagi, ke Amerika. Namun kabarnya, tahun-tahun ini adalah masa-masa akhir tugas Dewaruci. Angkatan Laut RI sedang menyusun rencana untuk membuat kapal latih yang lebih besar (menurut seorang kadet, besarnya tiga kali lipat Dewaruci). Sungguh beruntung saya masih bisa berkenalan langsung dengan kapal legendaris yang memasuki masa pensiun ini. Bagaimana pun, Dewaruci yang berbendera bajak laut ini telah ‘mambajak’ banyak hati selama masa tugasnya, bukan saja hati warga Indonesia, tapi juga hati warga dunia.

(Foto-foto Dewaruci lain bisa dilihat di sini)

Wassalam.
Syafnee.
13 Ramadhan 1432 H.

Dewaruci lepas sauh di Bangkok Port; Para kadet berdiri di tiang-tiang layarnya

Dewaruci lepas sauh di Bangkok Port; Para kadet berdiri di tiang-tiang layarnya

Spesifikasi KRI Dewaruci

Tipe : Barquentine
Panjang Kapal : 58,30 m
Lebar Kapal : 9,50 m
Draft : 4,50 m
Pendorongan : 1 unit Diesel 986 HP, dengan satu propeler berdaun 4
Kecepatan : 10,5 knot dengan mesin; 9 knot dengan layar
Berat Kapal : 874 ton
Jumlah Layar : 16 layar
Luas Layar : 1091 m2
Kap. ABK : 81 orang
Kap. Kadet : 75 orang

Layar Depan (Bima):
1. Plan jib
2. Jib luar
3. Jib tengah
4. Jib dalam
5. Panji
6. Sabur
7. Topang atas
8. Topang bawah
9. Teringket

Layar Tiang Tengah (Arjuna)
10. Dastur sabur
11. Dastur pengapuh
12. Dastur besar
13. Gusi besar
14. Besar

Layar Tiang Belakang (Yudhistira)
15. Gusi baksi
16. Baksi

(Foto-foto Dewaruci lain bisa dilihat di sini)