Suatu siang di bulan Januari lalu, saya berjalan kaki dari stasiun kereta Hua Lampong ke arah utara menyusuri kanal. Ini adalah perjalanan kaki tak terencana yang berakhir di pier (dermaga) Thewet di tepi sungai Chao Phraya, dua jam kemudian. Di dermaga kecil ini, saya melihat ribuan ikan kumis, yang saya duga adalah patin, berkecipak ramai di permukaan sungai saat potongan-potongan roti tawar yang dilempar turis menyentuh air. Ribuan ikan patin (catfish) berukuran rata-rata 40 cm hidup bebas di sungai dekat dermaga? Baru saya lihat di sini! Langsung terbayang gulai ikan patin khas Pekanbaru yang pernah saya makan di Palembang yang rasanya mak nyusss…

Selepas ekspedisi itu, saya mencari info di internet tentang bagaimana bisa ribuan catfish yang gendut-gendut itu hidup bebas di salah satu dermaga di sungai Chao Phraya. Saya mendapat jawaban sekaligus saya mendapat wawasan lain bahwa raja ’ikan kucing’ sesungguhnya hidup di sungai Mekong. Ini lah perkenalan awal saya dengan sungai Mekong. Dan sesungguhnya posting ini adalah tentang sungai Mekong yang sekarang menjadi isu regional.

Sekilas Tentang Sungai Mekong

Sekilas Tentang Sungai Mekong

Tahun ini, cerita tentang menurunnya permukaan air sungai Mekong berulang. Beberapa titik di hilir sungai yang melewati bagian timur laut Thailand mengalami pendangkalan drastis hingga titik terdangkal mencapai sekitar 30 cm. Perahu bisa berlayar dan ekosistem air akan lebih sehat jika kedalaman air minimal 150 cm. Air yang sedemikian dangkal mengakibatkan penurunan tangkapan ikan oleh nelayan, kekurangan air minum bagi masyarakat lembah sungai, kekurangan air untuk pertanian dan peternakan, dan sangat mengganggu kegiatan perdagangan dan turisme. Dan yang juga menyedihkan bagi saya, kelangsungan hidup dan masa depan Mekong giant catfish (Pangasianodon gigas) terancam! Thailand menuduh Cina bertanggung jawab atas keadaan sepanjang hilir sungai Mekong yang makin memburuk dari tahun ke tahun ini.

Sungai Mekong adalah sungai terpanjang ke-12 di dunia dan ke-7 di Asia, yang mengalir melewati 6 negara: Cina, Burma, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam (urut dari hulu ke hilir). Lihat peta di bawah; garis biru adalah sungai Mekong. Dari sini nampak bahwa Cina memiliki keuntungan menguasai bagian hulu sungai dan keuntungan geografis ini memang dimanfaatkan sepenuhnya oleh Cina. Cina, bagai anak yang baru tumbuh pesat, memerlukan banyak energi untuk pertumbuhannya yang dalam hal ini listrik. Cina kemudian membangun 9 dam di hulu sungai Mekong, yang masuk wilayah provinsi Yunnan, untuk pembangkit listrik.

Dam pertama, bernama Manwan, dibuka tahun 1992. Sejak itu ketinggian permukaan air sungai Mekong, yang di Cina disebut sungai Lancang, di bagian hilir mulai berfluktuasi tidak alami. Dam kedua dan ketiga, Dachaoshan dan Jinghong, masing-masing dibuka tahun 2003 dan 2008. Dam keempat, yang berukuran super jumbo, Xiaowan, dibuka tahun 2009. Proyek dam lain masih dalam tahap pembangunan.

Berikut sedikit info tentang si jumbo dam Xiaowan ini. Dam ini berbentuk busur/melengkung dengan tinggi 292 m. Hingga saat ini, Xiaowan adalah dam berbentuk busur/lengkung tertinggi di dunia. Kapasitas simpan air mencapai 15 kilometer kubik. Ukuran ini kira-kira lima kali kapasitas gabungan dari 3 dam lain yang sudah ada (Mawan, Dachaosan, dan Jinghong). Dam raksasa ini mulai diisi Oktober 2009 dan perlu 10 tahun untuk memenuhi dam ini dengan air.

Dengan skala dan jumlah dam yang di bangun Cina ini, bisa dimengerti jika Thailand dan negara yang dialiri Mekong di bagian hilir lain menuduh Cina bertanggung jawab atas sebagian episode memburuknya ekosistem air Mekong ini. Negara-negara wilayah Mekong memang mengakui bahwa alam memang berubah dan musim kering yang relatif parah membuat kondisi sungai Mekong memburuk. Alasan ini juga dipakai Cina untuk membela diri. Tapi negara-negara di hilir sungai, terutama Thailand, menegaskan bahwa apa yang telah dilakukan Cina di hulu telah membuat kondisi lebih parah dari seharusnya.

Pada 1995, Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam membentuk Mekong River Comission (MRC) yang intinya adalah perjanjian kerjasama dalam pembangunan berkelanjutan di lembah sungai Mekong dan perjanjian untuk berbagi sumber daya yang disediakan Mekong untuk meningkatkan ekonomi rakyat di lembah sungai tersebut. Tahun 1996, Cina, bersama dengan Myanmar, menjadi mitra dialog MRC, yang diharapkan juga membagi data mereka tentang kondisi dan apa yang dilakukan di sungai Mekong yang masuk wilayah mereka. Cina tidak menginformasikan datanya ke MRC hingga tahun 2002. Setelah 2002, Cina berbagi sebagian data sungai Mekong ke MRC dan menyimpan sebagian yang lain.

Nelayan Sungai Mekong

Nelayan Sungai Mekong

Nun di Dusun Kradenan, di Sleman, Yogyakarta, Indonesia, Mbah Jelani beradu mulut dengan Pak Surohman dari dusun tetangga.

”Pak Rohman, sampeyan iki piye, tho! Malam ini kan jatah kampung kami ambil air irigasi! Lha kok ini kami tunggu-tunggu airnya ndak datang-datang, selokannya garing! Airnya sampeyan serobot lagi, yo?” semprot Mbah Jelani yang melabrak Pak Surohman di sawahnya di kampung sebelah.

Welah, nggih pripun, Mbah …. Lha airnya ngalir cuma ’mak crit’ gini dari kemarin. Kami jadi masih kurang air ini… lha itu lho, liat, sawah kami mung macak-macak airnya, belum kelelep semua. Ini pasti karena global warming itu, lho, Mbah…,” kilah Pak Rohman, sok tau.

Wopo to kuwi, Pak…Pak.. Wis, ndak usah gombal-gambul segala… kalo mau kelelep ya ke Parangtritis sana, banyak airnya. Meski ’mak crit’, tapi kan kami juga butuh air, to, Pak? Lha kalo sawah sampeyan selamet, sawah kami garing kabeh, piye, Pak? Opo sampeyan mau nanggung rugine? Wis, sekarang airnya dibuka, biar ngalir ke sawah kami. Kita kan sudah sepakat gantian buka-tutup?? Lha, kok masih serabat-serobot sampeyan iki…,” gerutu Mbah Jelani .

Nggih pun, Mbah, ini tak buka airnya buat njenengan, nggih???” jawab Pak Surohman tanpa minat. Dia berkata lagi dalam hati, ”Hehehe..lumayan nyerobot dapat tambahan air dikit …… ”

“Tapi, Mbah, sebaiknya ada rembugan lagi soal air ini. Soalnya, makin lama air makin susah, je. Gimana kalo lusa habis magrib kita rembug di warung kopi Kang Dibyo?” tawar Pak Surohman.

Yo wis, nanti tak kasitau yang lain. Karena sampeyan yang ngundang, kopi plus gedhang goreng sampeyan bayari, yo?”

“Waaaaa, lha ini, rembug untuk kepentingan bersama tapi kok maunya gratisan to Mbah.. Mbah..! Tapi ya udah, ndak papa, saya yang tanggung semua, Mbah!”

Dan begitulah, di saat geng Mbah Jelani dan geng Pak Surohman rembug di warkop Bang Dibyo, hari ini (2 April 2010) anggota Mekong River Comission (MRC) juga mengadakan pertemuan tingkat tinggi bertajuk Mekong Summit untuk yang pertama kalinya setelah 15 tahun MRC dibentuk, di Hua Hin, Prachuap Khri Khan, Thailand. Perwakilan dari para anggota yang terdiri dari Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja akan datang. Delegasi Kamboja dipimpin langsung oleh perdana menteri Hun Sen, yang belakangan kurang akur dengan pemerintah Thailand. Pengamat dari Cina dan Myanmar, sebagai mitra dialog, juga akan datang.

Mekong Summit yang akan membicarakan kondisi terkini dan masa datang sungai Mekong ini akan berlangsung hingga 5 April 2010. Akankah Cina menjadi objek serangan dari anggota MRC? Apakah Cina bisa berkelit dari semua yang dituduhkan? Atau apakah kopi tubruk dan pisang goreng, seperti yang tersedia di warkop Kang Dibyo, akan disediakan panitia dalam pertemuan penting ini? Kita belum tahu. Saya hanya berharap bahwa summit ini berakhir dengan hasil yang konstruktif untuk kesehatan ekosistem sungai Mekong dan masyarakat hilir lembah sungai raksasa ini. Semoga saya masih bisa berkunjung ke sungai ini dan melihat patin raksasa Pangasianodon gigas yang berenang bebas di sungai Mekong.

Wassalam.