Keagamaan dan Konflik Identitas

Hidup sebagai minoritas di tengah mayoritas Thai Buddhist bukan sama sekali tanpa persoalan. Kendati berpenampilan fisik sama, berbahasa sama, lahir pun di negeri Thai, namun perbedaan agama sedikit banyak mengundang masalah. Masalah terbesar bukanlah dengan warga Thai non-muslim di Bangkok, karena mereka tergolong toleran dan tidak bersikap diskriminatif terhadap warga Muslim. Perbedaan cara hidup, kebiasaan, dan sistem nilai yang berakar dari perbedaan agama adalah masalah yang lebih serius.

“Masyarakat Thai nonmuslim relatif memperlakukan warga Muslim dengan baik. Kami tidak menemukan kesulitan untuk hidup sebagai Muslim di Bangkok. Hanya saja pengetahuan mereka tentang Islam sangat minim. Mereka hanya memahami Islam sebatas melarang makan daging babi,” ujar Ibnu Abdul Razak, Muslim Bangkok yang berdiam di Soi 7 Thanon Petachburi.

Kehidupan Muslim Bangkok memang dikepung ritual, kebiasaan, dan budaya-budaya Thai Buddhist. Dan ini berlangsung sejak pagi hari. Adalah pemandangan yang umum di pagi hari menyaksikan para pendeta Buddha (monk) berpakaian oranye (saffron) berkepala plontos dengan hanya mengenakan sandal (atau bahkan bertelanjang kaki, pen), mengedarkan bakul kosong di pagi hari supaya diisi warga yang didatanginya.

Para warga, apakah pedagang pasar, orang lewat, pegawai kantor yang tengah menanti kendaraan, biasanya mengisi bakul tersebut entah dengan makanan ataupun barang lain. Kemudian sang monk memberkati si pemberi barang tersebut. Menurut Roger Welty (2005), tradisi ini berlangsung setiap hari selama lebih dari 2500 tahun silam. Para monk adalah ‘warga negara kelas satu’ di Thailand. Mereka selalu mendapat prioritas di mana-mana. Ketika menumpang bus, kereta, maupun kapal, Monk selalu mendapat kursi khusus.

Hampir di setiap rumah warga Thai juga selalu tersedia rumah roh (spirit house) yang menurut keyakinan penduduk Buddha adalah salah satu cara untuk melokalisir pengaruh buruk dan memberi keselamatan bagi rumah, gedung dan penghuninya rumah roh ini lazimnya diberikan sesajen setiap pagi hari, bisa berupa kelapa muda, minuman botol, makanan kecil, hingga bunga-bungaan dan patung-patung gajah berukuran kecil.

Apabila melewati rumah roh, lazimnya warga Thai Buddhist akan merapatkan kedua tangannya (posisi wai) dan menunduk menghormat seraya berdoa. Rumah roh ini mudah ditemukan di mana-mana. Di pusat-pusat pertokoan besar di Bangkok seperti Central World ataupun Mahboonkrong (MBK mall), rumah-rumah roh ini bahkan menjadi temat pemujaan yang berukuran besar lengkap dengan patung Ganesha, gajah, dan lain-lain.

Warga Bangkok nonmuslim juga amat mencintai dan menghormati raja. Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX) yang bertahta sejak 1946 nyaris seperti tuhan bagi warga Thai Buddhist. Mereka menyembah raja nyaris seperti Muslim menyembah Tuhan. Raja adalah pemimpin tertinggi dan simbol keadilan dan kebenaran. Maka, mengkritisi dan berbicara buruk tentang raja dalah suatu kejahatan berdasarkan hukum Thailand.

Saking cintanya kepada raja, warga Thai biasa menggunakan baju berwarna kuning bertuliskan ‘long live the king’, setiap hari Senin. Karena raja Bhumibol lahir pada hari Senin dan warna untuk hari Senin adalah kuning berdasarkan kepercayaan mereka. Warga juga biasa memakai baju berwarna biru muda setiap hari Jumat, karena ratu Sirikit lahir pada hari Jumat, dan warna untuk hari Jumat adalah biru muda.

Warga Thai juga tak pernah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Apabila mereka menjumpai raja, biasanya mereka duduk di lantai dengan bersila atau lesehan dan tidak memandang langsung wajah raja, sementara sang raja duduk di kursi kebesarannya. Bahkan para petinggi militer Thailand yang melakukan kudeta tak berdarha pada 19 September 2006 untuk menggulingkan PM Thaksin Shinawatra pun ketika menjumpai raja tetaplah duduk lesehan di lantai.

Penghormatan terhadap raja terjadi di mana-mana. Setiap hari padajam 08.00 dan 18.00 di tempat-tempat publik disiarkan lagu kebangsaan untuk menghormati raja. Tak hanya itu, di bioskop pun sebelum film diputar ada film pendahuluan sekitar 2 menit tentang raja dan para penonton wajib berdiri menghormat sebelum menonton film yang sebenarnya.

Bagaimana dengan warga Muslim?

“Saya tak pernah menggunakan baju kuning setiap hari Senin, karena saya kan Muslim,” ujar Zaman, warga Muslim Bangkok asli Songkhla. “Menggunakan baju kuning berarti menuhankan raja dan itu termasuk syirik,” ujar Zaman lagi.

“Terus terang kami jarang ke Ayutthaya untuk melihat reruntuhan kuil dan pagoda, itu akan peninggalan kerajaan Siam-Buddha, sedangkan kami Muslim. Terlalu banyak berhala di sana,” ujar Farid, Muslim Bangkok yang aktif di Islamic Center Ramkamhaeng Bangkok.

“Orang Thai Buddha tak memiliki konsep monotheisme. Adalah aneh dalam konsep orang Thai apabila memiliki satu tuhan atau satu dewa yang disembah saja. itulah yang membuat saya masuk Islam. Saya tertarik dengan konsep satu Tuhan dalam Islam,” ujar Chonlada, mahasiswa sastra inggris Chulalongkorn University, yang ketika masuk Islam pada tahun 2005 mengganti namanya menjadi Tasnim.

Benturan-benturan nilai dan kebiasaan di atas adalah wajah keseharian Muslim Bangkok. Mereka mengalami konflik identitas, sebagai waga negara Thailand, sebagai bangsa Thai, namun juga sebagai Muslim. Ada nilai-nilai Islam tertentu yang memudahkan mereka untuk hidup layaknya warga Thai yang lain.

Mereka tak mungkin menyembah raja Thailand sebagaimana rakyat Thai yang lain. Mereka pun tak mungkin menghormati rumah roh dan patung, karena terkategori syirik besar. Mereka juga tak mudah makan di sembarang tempat dan membeli makan di kedai-kedai penjual Thai Budhha, karena tak jelas halal-haramnya dari makanan yang digelar tersebut. Juga, mereka tak mudah untuk shalat di sembarang tempat, karena warga Bangkok banyak yang memelihara anjing di dalam maupun di luar rumah.

“inilah salah satu kesulitan hidup sebagai warga muslim di Bangkok. Kita harus hidup secara sekuler untuk dapat bekerja dan mencapai jenjang tertinggi di pemerintahan,” papar Ibnu Abdul Razak.

Perbedaan cara hidup dan sistem nilai dengan mayoritas Thai Buddhist membuat warga Muslim kerap dijuluki sebagai ‘khek’ (‘pendatang’ atau ‘orang asing’ dalam bahasa Thai). Semula istilah ini digunakan untuk menyebut Muslim pendatang dari Timur Tengah maupun dari India-Pakistan-Bengali. Naum lama kelamaan semua Muslim akhirnya disebut sebagai ‘khek’ juga. berbeda dengan orang asing yang datang dari barat dan berkulit putih, di mana untuk kelompok ini disebut ‘farang’.

Upaya Mempertahankan Eksistensi

Sedikit tapi bergigi adalah ungkapan yang paling pas untuk melukiskan Muslim Bangkok. Mirip seperti oase di tengah padang pasir, yang kendati jumlahnya jarang namun mampu menawarkan kesejukan.

Satu contoh paling menraik adalah aktifnya berbagai asosiasi pelajar Muslim di universitas-universitas Thailand. Kampus-kampus utama di Bangkok, seperti Chulalongkorn University, Thammasat University, Mahidol University, dan Asian Institue of Technology (AIT) memiliki asosiasi mahasiswa Muslim (Muslim Students Association) yang sangat aktif dan saling berhubungan erat satu sama lain.

Di Chulalongkorn University ada sekitar 100 mahasiswa dan pegawai Muslim. Namun hanya ada satu musholla kecil yang mereka sebut sebagai ‘hong lamat’ ataupun Muslim Study Club Center. Letaknya di lantai empat gedung serbaguna Chulalongkorn, persis di atas cafeteria. Musholla ini berukuran kecil, kurang dari 6 x 3 meter. Dengan bentuk yang tidak persegi empat. Nyaris berbentuk segitiga di mana di bagian imam musholla menyempit menjadi hanya berukuran dua orang dewasa saja.

Kendati kecil, musholla ini ramai dikunjungi oleh mahasiswa Muslim baik pria maupun wanita. Baik mahasiswa Thai maupun mahasiswa Muslim, termasuk mahsiswa Indonesia. Pria menempati bagian depan dan wanita di bagian belakang di mana di antara keduanya diletakkan hijab kayu setinggi tubuh orang dewasa. Setiap waktu sholat, musholla ini nyaris penuh karena memang berukuran kecil sekali.

Setiap hari Jumat, utamanya ketika musim kuliah, digelar sholat Jumat dengan imam yang bergantian di kalangan mahasiswa. Berapapun makmumnya shalat Jumat tetap digelar. Pernah suatu Jumat makmum laki-lakinya hanya berjumlah dua orang saja dan sholat Jumat tetap berjalan. Muslimah Chulalongkorn University juga berhijab rapid an amat rajin melaksanakan shalat fardhu dan mengikuti shalat Jumat.

Menurut Adib, mantan ketua Chulalongkorn Muslim Study Club sekaligus mahasiswa tingkat akhir Faculty of Engineering, kegiatan keislaman seperti ini adalah kegiatan yag umum terjadi di kampus-kampus Bangkok. “Kami memiliki hubungan dengan mahasiswa Muslim di universitas lain. Secara berkala kami mengadakan Muslim Study Camp bersama ke luar kota untuk mempererat ukhuwah islamiyah,” tukas Adib dalam bahasa Melayu Pattani bercampur bahasa inggris.

Kalangan pedagang dan pengusaha Muslim Bangkok juga bangga dengan keislaman mereka. Pedagang Muslim selalu menandai makanan dagangan mereka dengan stiker berlafadz Allah, Muhammad, ataupun bismillahirrahmanirrahim, di samping label halal yang mereka tempelkan di etalase. Ini adalah cara mudah untuk mengidentifikasi bahwa makanan yang mereka jual adalah layak dikonsumsi dan berstatus halal.

Hal ini perlu dilakukan mengingat wajah dan bahasa yang diigunakan Thai Muslim dan nonmuslim relatif sama. Juga tak hanya pedagang kaki lima, salah satu toko komputer eksklusif di lantai 5 Panthip Plaza Thanon Petchaburi di Bangkok pun dengan bangga memasang kaligrafi di tembok atasnya untuk menandakan bahwa pemiliknya adalah Muslim.

Sentra kegiatan Muslim Bangkok adalah di Islamic Center di daerah Ramkamhaeng. Di dalamnya terletak masjid berukuran besar berlantai dua. Tempat shalat terletak di lantai dua dan di lantai bawahnya digunakan untuk aula, perpustakaan, tempat makan, toko buku, dan kantor-kanotr. Masjid ini selalu ramai dikunjungi minimal setiap hari Jumat dan Ahad dengan beragam corak Muslim yang mendatanginya. Dari yang bercadar dan berjilbab lebar, ataupun bersorban dan bergamis putih hingga Muslim yang mengenakan celan jeans ketat dan kaos oblong saja.

Muslim Bangkok telah memberi warna lain bagi kehidupan kota Bangkok dan negeri Thailand pada umumnya. Mudah sekali menemukan mereka berseliweran di pojok-pojok kota Bangkok yang amat mudah dikenal dari pakaian yang mereka gunakan. Terkadang amat kontras dengan penduduk Bangkok yang lain yang cenderung berbusana ala kadarnya. Dari rahim mereka telah lahir banyak orang penting Thailand seperti Jenderal Sonthi Boonyaratglin, panglima Angkatan Bersenjata dan Ketua Dewan Keamanan Nasional Thailand, yang sekaligus pemimpin kudeta tak berdarah tahun 2005. Juga ada figur-figur akademisi terkenal seperti Profesor Anas dari Mahidol University, Profesor Chaiwat Satha Anand dari Thammasat University, ataupun Profesor Isra Santisart dari Chulalongkorn University. Muslim Bangkok memang minoritas dan hidup setengah terasing dengan warga Bangkok yang lain. Namun eksistensi mereka nyata.